Projek Dialog

Jihad Terlarang: Wawancara bersama bekas ahli Gerakan Militan (Bhgn. 3)

Wawancara tiga bahagian ini pertama kali disiarkan di The Affair Mag bertajuk Jihad Terlarang: Gerakan Militan dan Peranan Pesantren Merawat Radikalsime – Bahagian 1 Sambungan dari Bahagian 2. Wawancara bersama Mataharitimoer oleh Mohamed Imran Taib, penggerak The Reading Group Singapore. Menarik apa yang dikatakan: pesantren itu menjadi landasan menyekolahkan anak-anak mereka dan langsung membawa generasi selanjut dari lingkaran radikal untuk kembali kepada lingkaran baru – iaitu, Islam yang damai dan toleran. Ini jelas berbeza dengan wacana yang pernah kita dengar, yang sering dilaungkan dari Amerika contohnya, bahawa pesantren adalah ‘sarang radikalisasi’. Jadi, wacana dari luar ini tidak memberi gambaran yang betul. MT: Ya. Justeru, saya secara peribadi, mengalami deradikalisasi ketika saya kenal pada pesantren. Saya menjadi lebih toleran ketika saya mendekatkan diri kepada pesantren. Buat saya, di pesantrenlah saya belajar bagaimana bersikap lebih dewasa, menjadi toleran, dan menghargai keragaman dan perbezaan yang ada. Sebelumnya, saya bukan seorang yang pernah memijakkan kaki di pesantren kerana saya bukan dari kalangan pesantren. Saya orang jalanan! Apakah yang unik di pesantren sehingga membuat kamu merasa damai dan kembali berdamai dengan perbezaan yang ada? MT: Ketika ada masalah, Pak Kiyai bersedia menjelaskan – baik dengan cara memberikan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis, mahupun secara logikal. Contohnya, pernah ada orang yang mendiskriminasi terhadap kaum Syiah. Pak Kiyai bertanya kepada orang yang membenci kaum Syiah itu: ‘Syiah itu salahnya di mana? Bukankah mereka itu juga percaya pada Nabi Muhammad, mengangkat Allah sebagai Tuhan Semesta Alam dan mempercayai al-Qur’an? Jadi, di mana perbezaan yang asas yang membuat kita harus menyisihkan mereka?’ Pak Kiyai justeru mengatakan bahawa orang-orang Syiah tetap saudara kita. Jadi, jangan sampai kita terjebak ke dalam perbezaan-perbezaan yang sangat remeh. Lebih baik kita mendahulukan persatuan daripada mendahulukan perbezaan. Di pesantren, budayanya seperti ini – mengetepikan perbezaan yang remeh dan menyisihkan sikap ‘siapa yang paling benar’. Itu yang saya lihat dan pelajari di pesantren. Islam di pesantren, bagi saya, jelas penuh bijaksana. Mereka sedia menerima kedatangan tamu dari mana jua pun, termasuk dari Amerika yang sering menuding pesantren sebagai ‘sarang teroris’. Sewaktu orang Amerika datang, mereka akan tetap dihormati oleh warga pesantren. Maka, terjadilah dialog. Akhirnya, pesantren juga menyedari bahawa tidak semua orang Amerika itu anti-pesantren; dan orang Amerika tidak melihat semua pesantren sebagai ‘sarang teroris’. Akhirnya, hubungan akan menjadi lebih baik. Bagaimana dengan harapan saudara untuk bangsa Indonesia di masa hadapan? MT: Harapan saya, persoalannya di Indonesia ini bukan lagi apakah Indonesia ini berganti ideologi atau tidak, tetapi Indonesia harus dipimpin oleh orang-orang yang bebas dari dinasti penguasa masa lalu; bebas dari anak-cucunya Sukarno, Suharto mahupun Susilo Bambang Yudhoyono. Ini kerana pemerintahan yang berdasarkan kronisme dan nepotisme, akan selalu merugikan rakyat kecil. Impian saya ialah Indonesia – walaupun masih jauh perjalanannya – masih terus damai. Sebenarnya, Indonesia ini sangat luas. Saya juga berharap orang-orang yang ada di hujung kepulauan Indonesia, seperti di pelosok Papua, mempunyai akses yang sama – di dalam kebebasan mengakses informasi dan memberikan informasi akan apa yang mereka lalui di wilayah mereka. Pada saat ini, itu belum terjadi. Di Kalimantan, misalnya, akses internet itu belum ada atau mencukupi; saya pernah menyebutnya ssebagai ‘fakir bandwidth’. Walhal, Kalimantan mempunyai sumber alam yang dieksplorasi dan dikaup hasilnya untuk kekayaan orang lain. Tetapi, kenapa untuk bandwidth sahaja tidak sampai? Jadi, ini persoalan pemerintah yang tidak mengendahkan kebajikan penduduk di sana. Tanpa akses menerima dan memberi informasi, kondisi mereka tetap akan tersembunyi dari mata umum. Saya mahu suatu saat di mana Indonesia dari Sabang sampai Merauke, ada pemerataan bandwidth dan akses untuk semua orang supaya bebas berekspresi melalui media-media yang trennya sekarang adalah internet. Bererti, kamu menyatakan harusnya ada kebebasan informasi supaya ekspresi hidup itu akan menjadi lebih rancak; dan dengan informasi yang lebih, ianya dapat mendewasakan kita melalui keragaman berfikir. MT: Benar. Dan akan terjadinya lebih banyak dialog. Juga, kita akan tahu mengenai kes-kes yang terjadi di daerah pedalaman. Selama ini, kita hanya tahu kes-kes yang terjadi di kota-kota besar, seperti di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Tetapi, kita tidak tahu apa yang terjadi di pedalaman – sama ada rakyat atau petani-petani di sana ditindas oleh penguasa atau pengusaha setempat. Dengan pemerataan informasi, kita akan tahu dan akan muncul gerakan yang dapat membantu para petani, nelayan dan rakyat kecil. Itu yang saya cita-citakan. Jadi, kita melakukan aksi langsung terhadap kerja pembaikan dan merespon terhadap hal-hal yang nyata, dan bukan lari kepada ideologi yang mungkin bersifat utopia. Ini juga merujuk kepada buku kamu yang satu lagi, berjudul ‘Guru Kehidupan’ – mengenai suara orang-orang kecil dan cara mereka menghidupi diri mereka di tengah-tengah pembangunan negara Indonesia. MT: Buku kedua saya ini, Guru Kehidupan, berisi cerita dan profil orang-orang miskin: pengemis, tukang-tukang jualan, tukang parkir (penjaga kawasan meletak kereta), dan orang-orang jalanan. Semuanya saya wawancarai, tetapi mereka tidak sedar mereka sedang diwawancara supaya pandangan mereka lebih autentik. Ada tiga puluh orang yang saya wawancarai. Lalu, hasil wawancara itu saya bukukan dengan sebuah pesan: masing-masing mempunyai pandangan hidup yang lurus – dan meskipun mereka miskin, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang tidak bermoral untuk mendapatkan kekayaan. Mereka juga tidak akan mengeluh akan kemiskinannya, kerana mengeluh akan membuat mereka patah semangat dan merasa sakit di jiwa mereka. Jadi, mereka ini punya daya tahan yang kuat dan masih punya harapan untuk menjadikan kehidupan mereka lebih baik. Bagi saya, itu penting, kerana jika seseorang itu sudah tidak punya harapan, lebih baik dia menjadi batu. Harapan itu penting. Dan itulah juga yang menjadi ubat di dalam masa transisi dari sudut kehidupan yang gelap kepada kehidupan yang lebih baik. Semoga MT terus memberi inspirasi dan membawa pesan-pesan damai dan toleran di tengah-tengah masyarakat. Terima kasih! MT: Terima kasih kembali. ***** Nota: Mataharitimoer kini aktif bergiat di dalam bidang advokasi kebebasan berekspresi dan ikut bergerak di sebuah badan bukan pemerintah (NGO), Indonesian ICT Partnership Association atau ICT Watch. Wawancara dan transkripsi dilakukan oleh Mohamed Imran Mohamed Taib, aktivis yang bergiat di kelompok anak muda The Reading Group, Singapore. The Reading Group pernah berkunjung ke Pesantren Darul Uloom pada 31 Mei, 2010, dalam rangka silaturrahmi sambil kenal dengan dunia pesantren di Indonesia yang menggerakkan misi kemanusiaan dan gerakan Islam toleransi. Pesantren ini mempertemukan The Reading Group kepada program deradikalisasi yang dipimpin Kiyai Nasrudin Latif dan Mataharitimoer. Kunjungan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren di Bogor, pimpinan Sdr. Achmad Ubaidillah.]]>

Share your thoughts!

More Articles