Projek Dialog

Jihad Terlarang: Wawancara bersama bekas ahli Gerakan Militan (Bhgn. 3)

Wawancara tiga bahagian ini pertama kali disiarkan di The Affair Mag bertajuk Jihad Terlarang: Gerakan Militan dan Peranan Pesantren Merawat Radikalsime – Bahagian 1 Sambungan dari Bahagian 2. Wawancara bersama Mataharitimoer oleh Mohamed Imran Taib, penggerak The Reading Group Singapore. Menarik apa yang dikatakan: pesantren itu menjadi landasan menyekolahkan anak-anak mereka dan langsung membawa generasi selanjut dari lingkaran radikal untuk kembali kepada lingkaran baru – iaitu, Islam yang damai dan toleran. Ini jelas berbeza dengan wacana yang pernah kita dengar, yang sering dilaungkan dari Amerika contohnya, bahawa pesantren adalah ‘sarang radikalisasi’. Jadi, wacana dari luar ini tidak memberi gambaran yang betul. MT: Ya. Justeru, saya secara peribadi, mengalami deradikalisasi ketika saya kenal pada pesantren. Saya menjadi lebih toleran ketika saya mendekatkan diri kepada pesantren. Buat saya, di pesantrenlah saya belajar bagaimana bersikap lebih dewasa, menjadi toleran, dan menghargai keragaman dan perbezaan yang ada. Sebelumnya, saya bukan seorang yang pernah memijakkan kaki di pesantren kerana saya bukan dari kalangan pesantren. Saya orang jalanan! Apakah yang unik di pesantren sehingga membuat kamu merasa damai dan kembali berdamai dengan perbezaan yang ada? MT: Ketika ada masalah, Pak Kiyai bersedia menjelaskan – baik dengan cara memberikan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis, mahupun secara logikal. Contohnya, pernah ada orang yang mendiskriminasi terhadap kaum Syiah. Pak Kiyai bertanya kepada orang yang membenci kaum Syiah itu: ‘Syiah itu salahnya di mana? Bukankah mereka itu juga percaya pada Nabi Muhammad, mengangkat Allah sebagai Tuhan Semesta Alam dan mempercayai al-Qur’an? Jadi, di mana perbezaan yang asas yang membuat kita harus menyisihkan mereka?’ Pak Kiyai justeru mengatakan bahawa orang-orang Syiah tetap saudara kita. Jadi, jangan sampai kita terjebak ke dalam perbezaan-perbezaan yang sangat remeh. Lebih baik kita mendahulukan persatuan daripada mendahulukan perbezaan. Di pesantren, budayanya seperti ini – mengetepikan perbezaan yang remeh dan menyisihkan sikap ‘siapa yang paling benar’. Itu yang saya lihat dan pelajari di pesantren. Islam di pesantren, bagi saya, jelas penuh bijaksana. Mereka sedia menerima kedatangan tamu dari mana jua pun, termasuk dari Amerika yang sering menuding pesantren sebagai ‘sarang teroris’. Sewaktu orang Amerika datang, mereka akan tetap dihormati oleh warga pesantren. Maka, terjadilah dialog. Akhirnya, pesantren juga menyedari bahawa tidak semua orang Amerika itu anti-pesantren; dan orang Amerika tidak melihat semua pesantren sebagai ‘sarang teroris’. Akhirnya, hubungan akan menjadi lebih baik. Bagaimana dengan harapan saudara untuk bangsa Indonesia di masa hadapan? MT: Harapan saya, persoalannya di Indonesia ini bukan lagi apakah Indonesia ini berganti ideologi atau tidak, tetapi Indonesia harus dipimpin oleh orang-orang yang bebas dari dinasti penguasa masa lalu; bebas dari anak-cucunya Sukarno, Suharto mahupun Susilo Bambang Yudhoyono. Ini kerana pemerintahan yang berdasarkan kronisme dan nepotisme, akan selalu merugikan rakyat kecil. Impian saya ialah Indonesia – walaupun masih jauh perjalanannya – masih terus damai. Sebenarnya, Indonesia ini sangat luas. Saya juga berharap orang-orang yang ada di hujung kepulauan Indonesia, seperti di pelosok Papua, mempunyai akses yang sama – di dalam kebebasan mengakses informasi dan memberikan informasi akan apa yang mereka lalui di wilayah mereka. Pada saat ini, itu belum terjadi. Di Kalimantan, misalnya, akses internet itu belum ada atau mencukupi; saya pernah menyebutnya ssebagai ‘fakir bandwidth’. Walhal, Kalimantan mempunyai sumber alam yang dieksplorasi dan dikaup hasilnya untuk kekayaan orang lain. Tetapi, kenapa untuk bandwidth sahaja tidak sampai? Jadi, ini persoalan pemerintah yang tidak mengendahkan kebajikan penduduk di sana. Tanpa akses menerima dan memberi informasi, kondisi mereka tetap akan tersembunyi dari mata umum. Saya mahu suatu saat di mana Indonesia dari Sabang sampai Merauke, ada pemerataan bandwidth dan akses untuk semua orang supaya bebas berekspresi melalui media-media yang trennya sekarang adalah internet. Bererti, kamu menyatakan harusnya ada kebebasan informasi supaya ekspresi hidup itu akan menjadi lebih rancak; dan dengan informasi yang lebih, ianya dapat mendewasakan kita melalui keragaman berfikir. MT: Benar. Dan akan terjadinya lebih banyak dialog. Juga, kita akan tahu mengenai kes-kes yang terjadi di daerah pedalaman. Selama ini, kita hanya tahu kes-kes yang terjadi di kota-kota besar, seperti di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Tetapi, kita tidak tahu apa yang terjadi di pedalaman – sama ada rakyat atau petani-petani di sana ditindas oleh penguasa atau pengusaha setempat. Dengan pemerataan informasi, kita akan tahu dan akan muncul gerakan yang dapat membantu para petani, nelayan dan rakyat kecil. Itu yang saya cita-citakan. Jadi, kita melakukan aksi langsung terhadap kerja pembaikan dan merespon terhadap hal-hal yang nyata, dan bukan lari kepada ideologi yang mungkin bersifat utopia. Ini juga merujuk kepada buku kamu yang satu lagi, berjudul ‘Guru Kehidupan’ – mengenai suara orang-orang kecil dan cara mereka menghidupi diri mereka di tengah-tengah pembangunan negara Indonesia. MT: Buku kedua saya ini, Guru Kehidupan, berisi cerita dan profil orang-orang miskin: pengemis, tukang-tukang jualan, tukang parkir (penjaga kawasan meletak kereta), dan orang-orang jalanan. Semuanya saya wawancarai, tetapi mereka tidak sedar mereka sedang diwawancara supaya pandangan mereka lebih autentik. Ada tiga puluh orang yang saya wawancarai. Lalu, hasil wawancara itu saya bukukan dengan sebuah pesan: masing-masing mempunyai pandangan hidup yang lurus – dan meskipun mereka miskin, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang tidak bermoral untuk mendapatkan kekayaan. Mereka juga tidak akan mengeluh akan kemiskinannya, kerana mengeluh akan membuat mereka patah semangat dan merasa sakit di jiwa mereka. Jadi, mereka ini punya daya tahan yang kuat dan masih punya harapan untuk menjadikan kehidupan mereka lebih baik. Bagi saya, itu penting, kerana jika seseorang itu sudah tidak punya harapan, lebih baik dia menjadi batu. Harapan itu penting. Dan itulah juga yang menjadi ubat di dalam masa transisi dari sudut kehidupan yang gelap kepada kehidupan yang lebih baik. Semoga MT terus memberi inspirasi dan membawa pesan-pesan damai dan toleran di tengah-tengah masyarakat. Terima kasih! MT: Terima kasih kembali. ***** Nota: Mataharitimoer kini aktif bergiat di dalam bidang advokasi kebebasan berekspresi dan ikut bergerak di sebuah badan bukan pemerintah (NGO), Indonesian ICT Partnership Association atau ICT Watch. Wawancara dan transkripsi dilakukan oleh Mohamed Imran Mohamed Taib, aktivis yang bergiat di kelompok anak muda The Reading Group, Singapore. The Reading Group pernah berkunjung ke Pesantren Darul Uloom pada 31 Mei, 2010, dalam rangka silaturrahmi sambil kenal dengan dunia pesantren di Indonesia yang menggerakkan misi kemanusiaan dan gerakan Islam toleransi. Pesantren ini mempertemukan The Reading Group kepada program deradikalisasi yang dipimpin Kiyai Nasrudin Latif dan Mataharitimoer. Kunjungan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren di Bogor, pimpinan Sdr. Achmad Ubaidillah.]]>

Jihad Terlarang: Wawancara bersama bekas ahli Gerakan Militan (Bhgn. 2)

Wawancara tiga bahagian ini pertama kali disiarkan di The Affair Mag bertajuk Jihad Terlarang: Gerakan Militan dan Peranan Pesantren Merawat Radikalsime – Bahagian 1 Sambungan dari Bahagian 1. Wawancara bersama Mataharitimoer oleh Mohamed Imran Taib, penggerak The Reading Group Singapore. Kamu menyebut-nyebut mengenai peranan pesantren dalam proses rehabilitasi kamu. Apakah ini semacam dukungan yang kamu terima setelah keluar dari gerakan radikal ini? MT: Ya, saya mendapat dukungan kuat dari Pesantren Darul Uloom di Bogor. Semenjak saya mula memprotes terhadap gerakan radikal, saya sering datang ke pesantren ini untuk mendapatkan nasihat. Pesantren merupakan pusat pembelajaran Islam. Waktu itu. saya tidak mempunyai pemahaman Islam yang kukuh kerana latar saya adalah manusia jalanan. Makanya, setiap kali ada masalah, saya akan meminta nasihat dari kiyai (KH. Nasrudin Latif). Semenjak saya mula mendapatkan nasihat di pesantren, mereka (di pesantren) sering mendukung saya. Mereka mengatakan bahawa protes yang saya lakukan terhadap gerakan radikal, tidak salah. Kiyai mengatakan bahawa protes saya betul, dan asalkan saya terus berani, kuat dan sabar. Sewaktu buku Jihad Terlarang terbit dan saya mendapat ancaman, pesantren itulah yang melindungi saya. Beberapa tokoh pergerakan masih memandang hormat terhadap kiyai dan pesantren, jadi mereka tidak berani mengusik saya. Pak Kiyai mengatakan bahawa sesiapa yang mengganggu saya, bererti dia telah mengganggu pesantren; dan sesiapa yang melukai Mataharitimoer bererti dia juga telah melukai kiyai. Semenjak itulah, ancaman terhadap saya dari kalangan underground dan radikal berkurangan. Ancaman seperti apa yang kamu terima? MT: Ancaman paling biasa saya dengar ialah, ‘Darahnya halal, dan boleh kita bunuh!’ Tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, saya mulai melihat ancaman itu sebagai kosong belaka. Mereka tidak benar-benar berani untuk melakukan ancaman mereka; hanya gertak sahaja. Pasti mereka lebih marah setelah ‘Jihad Terlarang’ terbit kerana membongkar semua rahsia mereka serta cara mereka beroperasi. Apakah contoh operasi mereka yang kamu bongkar, yang menurut kamu, membuat mereka benar-benar marah? MT: Di buku ini, saya menjelaskan bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap sasaran dan bagaimana mereka melakukan brain-washing – daripada seorang yang tidak tahu apa-apa kepada seorang yang siap mati. Prosesnya itu melalui pendidikan dan latihan – semacam ‘pesantren kilat’ (latihan perkhemahan) selama tiga hari, dua malam. Para peserta tidak dibenarkan tidur, dan hanya boleh istirehat sekejap untuk makan dan solat. Saya jelaskan juga bahan-bahan yang digunakan untuk proses indoktrinasi ini. Nah, ini semua adalah rahsia gerakan dan tidak seharusnya diketahui umum. Tetapi, saya menulis mengenainya kerana saya ingin orang lain tahu bahawa itulah caranya mengubah seseorang – dari seorang yang tidak berani kepada seorang yang berani mati. Biasanya, bagi mereka yang bergiat di dalam kelompok radikal seperti itu dan lantas keluar, mereka bukan hanya menjadi sasaran mantan teman-teman radikalnya, tetapi juga dicari oleh pihak perisik negara. Apakah kamu punya pengalaman didekati pihak perisik negara dan bagaimana reaksi kamu? MT: Ketika buku Jihad Terlarang ini terbit, saya tidak hanya dicari oleh kelompok radikal, tetapi juga oleh pihak perisik negara atau state intelligence. Tetapi motifnya mungkin berbeza. Bagi pihak perisik, kadang-kadang saya didekati secara tidak sedar – seperti sewaktu saya diundang menjadi pembicara atau menjadi narasumber (resource person) di dalam diskusi-diskusi terbatas. Saya pernah diundang oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Agama, untuk mendiskusikan buku ini secara tertutup. Pada saat itu, ada beberapa orang berlatarbelakang agensi keamanan negara. Saya terperanjat; kenapa mereka turut hadir? Tetapi, saya tetap lanjutkan diskusi. Cuma, saya tetap batasi bahawa saya tidak akan mendedahkan dan saya tidak akan memberitahu di mana orang-orang yang saya ceritakan ini berada. Ini kerana sasaran mereka satu: mereka ingin tahu di mana tinggalnya orang-orang yang saya ceritakan, dan apakah mereka masih bergerak di dalam kelompok tersebut. Itu yang tidak dapat saya berikan. Ini kerana, buat saya, orang yang saya ceritakan harus saya lindungi juga. … kenapa? MT: Itu fasa di mana saya merasa tidak ada dendam lagi dan saya sudah mulai cair – justeru saya merasa berterima-kasih kepada mereka. Dengan merekalah, akhirnya, kedewasaan saya dibentuk dan dibina; walaupun saya harus melewati fasa merasa diri dibodohi, fasa amarah, fasa sakit emosi… Pada akhirnya, seburuk apapun seseorang itu, dia adalah “guru” saya. Sekejam apapun orang yang pernah saya temui, saya belajar kekejaman dari dia. Jadi, kamu mempunyai semacam prinsip bahawa cara menangani radikalisme ini bukan dengan cara yang radikal juga, tetapi dengan cara yang lembut seperti memujuk mereka untuk kembali ke jalan yang damai dan moderat. Apakah kamu pernah cuba melakukan cara khusus seperti ini, sebagai kaedah deradikalisasi? MT: Ya. Untuk cara deradikalisasi, kita harus mempunyai prinsip seperti itu. Selama ini, negara sering menggunakan pendekatan yang sangat keras, seperti Densus 88 (Detasemen Khusus 88, sebuah unit anti-terorisme di bawah Polis Indonesia) – menangkap, dipukul dan tanpa dialog. Pendekatan-pendekatan yang sifatnya dialogik atau pembujukan, hanya dilakukan terhadap mantan-mantan aktivis radikal. Kalau dulu, kami di gerakan radikal memanggil mantan-mantan aktivis sebagai “anjing pelacak”, yang tugasnya melacak di mana lokasi musuh negara. Ke manapun kita pergi, kita akan tetap dilacak kerana pihak perisik curiga bahawa kita akan bertemu kembali dengan orang-orang yang radikal. Itulah yang membuat saya berfikir: saya tidak mahu menjadi “anjing pelacak”! Saya sendiri tidak suka dengan para mantan yang menjadi “anjing pelacak”. Lebih baik saya menjadi orang biasa yang menebus kesalahan diri dengan mengajak orang-orang yang dulu saya ajak menjadi radikal, untuk kembali berdamai dengan masyarakat dan negara, dan diawali dengan berdamai dengan diri sendiri. Saya melihat satu sisi penting. Terjadinya radikalisasi juga adalah sewaktu zaman Suharto yang sangat represif di dalam menindas kelompok Islamis. Jadi, kerana pemerintahan Orde Baru sangat represif, mereka menjadi lebih radikal. Kamu melihat kesilapan seperti itu dan ingin mencuba strategi yang baru – iaitu dengan cara yang halus. Apakah ada keberhasilan di dalam percubaan kamu membujuk mungkin satu atau dua teman yang radikal? MT: Hanya sedikit yang tidak berhasil saya pujuk. Tetapi, keberhasilan yang saya dapatkan memerlukan masa yang agak lama. Dulu, ketika saya masih aktif di dalam kelompok radikal, saya hanya memerlukan tiga hari untuk mengubah pemikiran mereka melalui brainwashing. Tetapi, sesudah saya keluar, dan berusaha membawa yang lain keluar, proses ‘normalisasi’ memakan masa yang terlalu lama. Mungkin tiga tahun pun belum tentu cukup. Mungkin banyak faktornya mengapa memerlukan waktu yang lama. Pertama, kita harus sedar mereka sebenarnya punya keperluan hidup. Mereka punya keluarga yang harus dinafkahi. Juga, semakin tua, minda mereka semakin keras. Ibarat tulang, yang mungkin patah, maka harus diluruskan dengan perlahan-lahan. Tetapi, menurutmu, hanya memerlukan tiga hari untuk merekrut orang ke dalam gerakan radikal. Apakah teknik yang memudahkan seseorang itu terekrut secara tidak sedar? MT: Yang paling mudah adalah melalui provokasi. Kita mengatakan bahawa negara yang dipimpin Suharto adalah negara kafir, dengan bukti banyaknya korupsi dan semakin banyak orang yang miskin. Jurang antara orang yang kaya dan orang yang miskin semakin luas. Dan banyak ulama serta ustaz-ustaz yang ditangkap. Nah, dengan cara itu saja, tanpa mengangkat idea-idea Islam, orang sudah tertarik untuk masuk – terutama mahasiswa-mahasiswa yang pernah berhubungan dengan gerakan Kiri. Mereka mudah ditarik. Kepada golongan ini, kita tidak akan berbicara mengenai konsep-konsep Islam; yang kita bicarakan ialah konsep ‘perlawanan’ – terhadap penindas dan golongan ‘borjuis’. Maka, kita menyebut diri sebagai golongan ‘proletar’. …dan bagaimana kemudiannya mereka dimasukkan ke dalam ideologi Islam? MT: Itu secara perlahan-lahan. Ketika mereka masuk, mereka akan diberikan pelatihan tiga hari. Selepas pelatihan, mereka punya kewajiban untuk bertemu sekali dalam setiap minggu. Ini adalah proses pembinaan atau pendidikan. Perlahan-lahan, sehingga enam bulan, mereka dipersiapkan untuk masuk ke dalam tahap pengantara (intermediate). Ketika berada di tahap ini, barulah mereka tahu siapa mereka sebenarnya – iaitu anggota ‘Darul Islam’. Tapi dari aspek ideologi itu sendiri, apakah pemikiran-pemikiran yang dimasukkan, sehingga mereka merasakan perlu berjuang untuk Islam? MT: Pertama, adalah konsep ‘iman’. Kedua, konsep ‘hijrah’. Dan ketiga, konsep ‘jihad’. Bagi konsep ‘iman’, kita menggunakan sebuah hadis ‘al-imanu ahdun bil qalb, wa ikrarul bil lisan, wa amal bil arkan’ (“iman melalui hati, dan dilafaz secara lisan, dan diamalkan menurut rukunnya”). Iman, atau keyakinan, adalah satu hal yang berlembaga di hati, harus dideklarasikan, dan dilakukan secara zahir. Bagi konsep ‘hijrah’, proses mendeklarasi adalah ‘hijrah’ itu sendiri. Ini kerana ketika kita mengangkat keyakinan kita secara lisan, kita yakin bahawa kita akan berubah dan akan mengubah orde negara ini. Kemudiannya, ‘jihad’ adalah kesungguhan untuk mewujudkan iman. Menggunakan konsep ‘la illaha illallah’ (“tiada tuhan melainkan Allah”), kita menafsirkan ‘la illah’ sebagai penghancuran pemerintahan yang ada, lalu ‘illallah’ adalah pembinaan pemerintahan Islam yang baru. Jadi, ada semacam pemahaman yang sangat menyeluruh mengenai konsepsi ‘Islam’ itu sendiri. Tapi yang direkrut itu dari kelompok mana sebenarnya? MT: Beragam. Ada yang latar belakangnya sama sekali kosong tentang pemahaman Islam; ada juga yang dari kalangan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam); ada yang Syiah… Jadi, kita merekrut dari segala macam latar belakang. Kalau dari aspek umur? MT: Rata-ratanya, dari SMP (sekolah menengah pertengahan) hingga umur yang tidak terbatas. Ada yang dari kalangan orang-orang tua yang menjadi office boy atau janitor; selagi boleh, kita akan menarik mereka masuk. Gerakan kita juga memerlukan orang-orang tua yang bekerja. Walaupun penghasilan mereka kecil, tetapi wang mereka tetap boleh disisihkan untukinfaq. Bahkan, ada juga dari kalangan tentera dan anggota polis yang kita rekrut. Kembali kepada isu deradikalisasi. Bagaimana cara kamu memujuk kelompok radikal untuk meninggalkan ideologi garis keras ini? MT: Saya cuba mengajak mereka berfikir secara realistik: tentang kehidupan dan tentang apakah yang dibanggakan anak-anak terhadap ayahnya. Seorang anak akan bangga apabila ayahnya itu dapat memberikan segala keperluannya, baik dari segi kesihatan mahupun pendidikan, disamping makanan sehariannya. Contohnya, seorang anak akan merasa bangga dan berkata, ‘Oh, ayah saya yang menyekolahkan saya!’ Rata-rata, para aktivis adalah orang-orang yang kurang memiliki perhatian terhadap tanggungjawab seorang ayah. Nah, saya cuba mengajak mereka kepada persoalan itu: jangan sampai anak kita tidak menghormati kita. Kita sebagai seorang ayah dan suami, jihadnya adalah bagaimana memberi kehidupan kepada anak-anak kita. Cara ini memang terkesan ‘sekularistik’ dan ‘materialistik’, tetapi buat saya, itu persoalan yang nyata. Apakah kita dapat makan melalui idea sahaja? Tidak, anak kita harus makan nasi. Anak-anak kita tidak mungkin makan ‘iman’. Cara lainnya, kita juga bekerjasama dengan pesantren. Anak-anak mereka, yang dari kalangan yang tidak berpunya, kita sekolahkan dengan percuma. Sehingga, beban dia sebagai bapa berkurangan dan dia dapat bekerja sebagai apapun – seperti menjual ikan, jadi petani kembali, sebagai tukang basuh, atau menjadi pegawai administrasi di sekolah, dan lain-lain – yang mendapat hasil untuk diberikan untuk keperluan seharian anak-anaknya, bukan kepada gerakannya. Akhirnya, dia akan fokus di situ, sambil secara perlahan-lahan, diajak berdialog terus-menerus. Saya akan berkata: ‘Sudahlah. Jangan fikirkan lagi bahawa negara Indonesia ini adalah musuh. Orang-orang yang memimpin Indonesia sekarang sebenarnya sama dengan kita. Mereka manusia juga, dan punya cita-cita yang baik. Mereka juga ingin Indonesia menjadi negara yang baik, sama seperti kita. Pada masa yang sama, kita juga belum tentu yakin bahawa orang-orang yang memimpin kita dahulu – yang berlandaskan ideologi Islam – akan benar dalam memimpin negara Indonesia yang sangat plural dengan banyaknya suku, bahasa dan agama; sulit untuk mengelolakan bangsa ini.’ Jadi, dengan perlahan-lahan, mereka mereka melihat kenyataan ini. Ya, proses begini memerlukan waktu yang lama tetapi hasilnya lebih kekal. Lihat bahagian ke-3.]]>

Jihad Terlarang: Wawancara bersama bekas ahli Gerakan Militan (Bhgn. 1)

Wawancara tiga bahagian ini pertama kali disiarkan di The Affair Mag bertajuk Jihad Terlarang: Gerakan Militan dan Peranan Pesantren Merawat Radikalsime – Bahagian 1 Wawancara bersama Mataharitimoer oleh Mohamed Imran Taib, penggerak The Reading Group Singapore. Persoalan radikalisme agama sering mendapat perhatian di dalam wacana Islam kontemporari serta menjadi soroton di media-media massa. Tidak kurangnya, isu ini menjadi pergumulan politik, sama ada di peringkat lokal mahupun geopolitik. Namun, suara para aktivis gerakan militan jarang didengar melainkan apa yang dipapar oleh agensi keselamatan dan kepolisian, ataupun dari para pemimpin gerakan yang mengeluarkan ancaman dan pernyataan ‘jihad’ terhadap apa yang mereka anggap sebagai ‘musuh-musuh Islam’. Di sebalik keriuhan wacana radikalisme agama, masyarakat secara senyap sedar akan penyimpangan ideologi garis keras yang menyisihkan sisi damai dan semangat toleransi di dalam agama Islam itu sendiri. Namun, tidak ramai yang mungkin sedar akan persoalan bagaimana ideologi garis keras dapat menular di dalam masyarakat tanpa disedari sehingga berjaya menarik segelintir anak-anak muda untuk melaungkan ‘jihad’ (dalam erti ‘perang’) terhadap apa yang mereka anggap sebagai aspek-aspek ‘jahiliyah’ di dalam masyarakat – dari konsep ‘sekularisme’ kepada ‘dominasi Yahudi’ hingga kepada ‘ancaman Kristian’. Matlamat gerakan garis keras ini tetap satu: meruntuhkan orde pemerintahan sekarang yang dianggap ‘kafir’ dan mewujudkan ‘daulah islamiyyah’ (yang ditafsirkan sebagai ‘Negara atau Pemerintahan Islam’). Semenjak beberapa tahun yang lalu, beberapa suara mantan aktivis garis keras sudah mula dimunculkan melalui bentuk memoir ataupun biografi. Namun, kebanyakannya di dalam bahasa Inggeris dan memenuhi pasaran global. Antaranya ialah buku The Islamist (2007) oleh Ed Hussain. Suara-suara mantan aktivis ini penting di dalam memahami proses radikalisasi seseorang – dari aspek ideologi kepada sudut psikologi, sehingga ketegangan jiwa dan kekacauan minda yang akhirnya membuat dia keluar dari gerakan militan dan kembali hidup di tengah-tengah masyarakat secara damai. Pada 25 Julai 2013, The Reading Group telah menemui seorang mantan aktivis gerakan militan ‘Darul Islam’ untuk diwawancara. Beliau ialah penulis dan blogger yang menggunakan nama pena Mataharitimoer, atau singkatnya MT. Lahir pada tahun 1971 di Jakarta, MT (nama sebenarnya, Eddy Prayitno) telah menulis kisah perjalanan hidupnya dalam bentuk novel yang berjudul Jihad Terlarang: Cerita Dari Bawah Tanah. Novel ini mengisahkan seorang watak bernama Royan yang menyimpan dendam terhadap Tuhan dan tentera Indonesia atas kematian bapanya di dalam peristiwa Tanjung Priok. Akhirnya, Royan bergabung di dalam gerakan bawah tanah yang dikenali sebagai ‘Darul Islam’ dengan cita-cita mendirikan Negara Islam dan menggulingkan pemerintahan Indonesia yang dianggap sebagai ‘taghut’ atau ‘berhala’. Namun, Royan mula sedar bahawa gerakan militan ini tidak seindah apa yang difikirnya. Kerosakan moral di kalangan pemimpin atasan, termasuk korupsi dan penindasan terhadap anggota-anggotanya, membuat Royan meninggalkan gerakannya. Kisah Royan merupakan pengalaman benar yang dilalui MT. Selepas meninggalkan gerakan ‘Darul Islam’, penulis hidup bergelandangan tanpa arah tujuan. Akhirnya, beliau menemukan kembali kedamaian melalui sebuah pesantren dan tokoh kiyainya (Pesantren Darul Uloom di Bogor) yang merawat jiwanya dan mengenalkannya kembali kepada Islam yang sebenarnya – Islam yang damai, ramah dan penuh toleransi. Dari situlah beliau mula menuangkan segala pengalaman hidupnya melalui tulisan, sehingga terbitlah buku Jihad Terlarang pada tahun 2007. Berikut ialah wawancara yang mengisahkan pengalaman jujur hidup MT yang menjadi latar buku Jihad Terlarang. ***** Boleh ceritakan sedikit mengenai konteks buku ‘Jihad Terlarang’ ini? MT: Awalnya, beberapa kisah dari buku ini saya tulis di blog. Kemudian, ada seorang perwakilan dari penerbit yang menghubungi saya. Dia ingin saya menuliskan ini dalam bentuk buku. Itu tahun 2005. Akhirnya, sekitar tahun 2007, buku ini terbit – tetapi dari penerbit yang berbeza dari yang meminta. Saya sudah tandatangan perjanjian penerbitan dengan penerbit awal, tetapi ketika mahu layout, ketua penerbit menghentikan projek ini. Menurut informasi yang saya terima dari editornya, mereka takut ada kesan negatif buat perusahaannya. Ini kerana buku ini akan membuat ramai orang marah, terutama kelompok radikal. Buku ini merupakan pengalaman peribadi saudara MT. Apakah cerita disebaliknya? MT: Di dalam buku ini, saya menciptakan watak utama yang bernama Royan. Beliau adalah watak yang sebenarnya mewakili pengalaman saya, selama lebih kurang sepuluh tahun bergiat di dalam gerakan ‘Darul Islam’ (DI). DI adalah sebahagian dari gerakan ‘Negara Islam Indonesia’ (NII). Saya mula bergiat pada tahun 1988 sehingga saya keluar dari DI pada tahun 1998. Jadi, bagaimana proses watak utama bernama Royan ini terekrut – konflik batin yang dialaminya ketika baru masuk, sehingga dia dapat menerima ajaran baru, dan ketokohannya meningkat atas kebolehannya mendekati dan merekrut orang lain, sehingga dia masuk ke tingkat tinggi, iaitu membuat dasar-dasar pergerakan, dan akhirnya dia menyingkirkan diri – ini semua saya ceritakan. Hujungnya, watak ini menyingkirkan diri kerana dia melihat banyak kontradiksi di dalam kelompok dia. Banyak hal yang membuat dia ragu sehingga dia memerlukan empat tahun (semenjak keraguannya bermula) untuk dia benar-benar merdeka dan keluar dari gerakannya. Saya tertarik dengan proses merekrut itu, terutama apa yang dilalui oleh watak Royan ini. MT: Kalau dalam kes Royan, dia terekrut kerana dia melihat persaudaraan yang akrab dengan orang-orang yang baru dia kenal di dalam kelompok remaja masjid. Latar Royan ialah dia seorang anak jalanan dan juga tidak mempunyai hubungan baik dengan keluarganya sendiri. Jadi, dia seperti menemukan keluarga yang baru. Saat itulah, apa yang dia terima dari keluarga baru itu dianggap sebagai suatu kebenaran. Selanjutnya, Royan dan teman-temannya melakukan recruitment yang disesuaikan dengan objek atau sasarannya – dari pelajar sekolah menengah pertengahan (SMP), sekolah menengah atasan (SMA) hingga ke para mahasiswa, pedagang dan juga preman (orang jalanan). Semua cara dan pendekatannya berbeza-beza. Sebagai contoh, jika ingin merekrut preman, kita tidak akan membahaskan dalil-dalil agama; kita akan berbicara secara mudah sahaja. Saya akan mengambil kayu dan membuat garisan di tanah. Di bahagian kiri, ditulis ‘kafir’. Dan dibahagian kanan ditulis ‘Islam’. Maka ditanyakan, ‘Nah, yang mana anda pilih?’ Tentunya tidak ada orang yang mahu memilih ‘kafir’. Dari situ, kita mengajaknya mengambil bai’ah (perjanjian) untuk berjuang dengan nyawa untuk Islam. Tadi, anda mengatakan bahawa setelah bergiat di dalam kelompok ini, anda melihat adanya kontradiksi. Apakah kontradiksi-kontradiksi ini? MT: Yang pertama dan yang paling terusik, kita menyedari bahawa tugas utama kita adalah menegakkan din-ullah, iaitu ‘agama Allah’ di muka bumi. Itu adalah sebuah cita-cita yang mulia dan suci. Tetapi, pada kenyataannya, kita sering melihat para pemimpin gerakan melakukan hal-hal yang sangat bercanggah dengan tujuan mulia itu. Contohnya, korupsi. Dan juga bagaimana mereka bersikap seperti diktator terhadap jemaahnya sendiri dan tidak memberikan kebebasan terhadap wanita untuk memilih calon suami. Wanita sering dikekang dan harus mengikuti lelaki. Buat saya, itu kurang memuaskan kerana menurut saya, wanita itu mempunyai haknya sendiri, termasuk memilih calon suaminya. Di dalam konteks kami dahulu, wanita itu harus menikahi lelaki yang dipilih walaupun beliau tidak menyukai calon suaminya itu – kerana itu sudah menjadi perintah dari atasan… Jadi secara jujurnya, kehidupan para anggota gerakan sering ditindas oleh atasan secara sewenang-wenangnya. Bagaimana dengan ideologi gerakan terhadap Republik Indonesia, termasuk persoalan penegakan negara Islam? MT: Pada mulanya, saya keluar dari gerakan tersebut bukan kerana saya mencintai Pancasila atau menolak ideologi negara Islam. Saya masih tetap percaya pada waktu itu. Tetapi apa yang membuat saya keluar adalah kerana saya melihat moral mereka yang sudah rosak dan hancur. Jadi, saya keluar bukan kerana sedar secara ideologi, tetapi atas dasar moral. Apakah ada perubahan di dalam pemikiran ideologi setelah kamu keluar? MT: Ya, setelah itu, perjalanan saya mungkin terpengaruh dengan buku-buku yang saya baca, yang membuat saya berubah menjadi lebih moderat. Lama-kelamaan, saya melihat bahawa ternyata kita tidak perlu menghancurkan Republik Indonesia dan menggantikan dengan konsep negara yang kita sendiri belum tahu bentuknya seperti apa. Saya sedar kita hanya merupakan orang yang tahu merekrut sahaja tanpa memahami persoalan negara dan masyarakat. Saya sendiri ragu akan kebolehan teman-teman underground dan kelompok radikal untuk mengelola negara. Mungkin sahaja negara Indonesia akan menjadi lebih rosak jika dikelola oleh mereka. Itu yang saya alami secara konflik jiwa. Akhirnya, sekian tahun, saya mula berdamai dengan diri sendiri, saya berdamai dengan negara Indonesia, dan saya berdamai dengan lingkungan sekitar saya. Saya mulai cair dan menjadi sebahagian dari masyarakat Indonesia. Boleh ceritakan apa yang terjadi ketika kamu keluar dari Darul Islam dan sebelum kamu ketemukan kedamaian hati melalui Islam yang ramah dan berbeza dari apa yang kamu pelajari dari golongan radikal? MT: Waktu saya meninggalkan ‘Darul Islam’, saya memasuki satu fasa hidup di mana saya menjadi seperti ‘anti-Islam’. Waktu itu, saya kembali ke kelompok preman kerana masa lalunya, saya juga seorang anak jalanan. Saya melihat teman-teman preman ini, hampir setiap malam akan mengunjungi pusat pelacuran dan mabuk-mabuk. Saya sendiri tidak minum dan tidak mencari pelacur; saya hanya menemani mereka di luar sambil merokok. Saat itu, saya di dalam kondisi sudah tidak percaya kepada Tuhan. Tetapi, kerana sering bergaul dan duduk di situ, lama-kelamaan, saya berfikir: kenapa saya tidak melakukan perkara (iaitu, mabuk dan melacur) seperti teman saya? Di situ, saya menyedari, mungkin kerana di hati saya masih ada Tuhan. Maka Tuhanlah yang melindungi saya untuk tidak menjadi seperti teman-teman saya itu. Jadi, saya simpulkan: Oh, saya menemukan Tuhan di tempat pelacuran! Di tempat maksiat, saya mengenal kembali bahawa Tuhan itu wujud! Hari kemudiannya, saya pulang dan solat… Saya tidak lagi sakit mendengar azan, tidak seperti sebelumnya. Nah, tetapi, mungkin apa yang saya lalui tidak harus sama dengan orang lain. Pengalaman saya tidak dapat kita generalisasikan, walaupun mungkin ada orang lain yang mengalami perkara yang sama dengan saya… Boleh lanjutkan: bagaimana kamu merasa damai kembali selepas mengalami kekecewaan dan sikap anti-Islam itu kerana merasa dibohongi, dan akhirnya keluar dari kelompok radikal? MT: Saya mendapatkan kedamaian itu dari realiti kehidupan. Saya melihat bagaimana orang-orang biasa menjalani hidup: sebuah keluarga yang harmoni, seorang ibu yang bekerja untuk memberi makan kepada anaknya, dan sebagainya. Buat saya, mereka itu lebih nyata. Di Indonesia, majoritinya Muslim. Itu mempengaruhi saya dan saya berfikir bahawa lebih baik menjadi Muslim seperti mereka – tidak perlu memikirkan perang, revolusi – cukup untuk hidup biasa sahaja, menjalani ibadah seperti biasa, penuhi kewajiban terhadap anak dan isteri seperti biasa, bertetangga dengan baik… Jadi, melihat masyarakat inilah yang secara perlahan-lahan, membuat saya berubah dan berdamai. Pada satu sisi, kamu melihat realiti kehidupan yang mendamaikan kamu. Bagaimana pula peranan agama, seperti apa yang diajar oleh kitab suci al-Qur’an? Apakah itu juga memainkan peranan, iaitu secara teologinya? MT: Secara teologi, saya mendapatkannya dari pesantren, setelah saya keluar dari ‘Darul Islam’. Pesantrenlah yang memberikan saya banyak masukan tentang dasar-dasar keislaman. Ketika saya sedang mencari Islam secara teori dan akademik, pesantrenlah yang memainkan peranan – terutama ketika saya mahu mempelajari ayat-ayat Tuhan. Dari situ, pesantrenlah yang memberikan pemahaman yang baik dan benar. Tetapi, peratusannya mungkin kecil berbanding apa yang saya dapatkan dari kehidupan. Apakah dapat disatukan proses seperti ini, di mana apa yang dipelajari secara formal di kelas-kelas agama, seiringan dengan apa yang dilihat dan dipelajari dari realiti kehidupan? MT: Saya seorang yang sedari kecil, belajar melalui dialog. Ijazah saya hanya sekadar SMP (sekolah menengah pertengahan). Saya tidak pernah berkuliah di universiti. Tetapi, dahulu, saya pernah ke kampus-kampus universiti untuk berdiskusi dengan para mahasiswa dan para pensyarahnya. Saya juga akan beli buku untuk dibaca dan dipelajari; dan apa yang saya tidak faham, akan saya tanyakan. Saya tidak punya wang untuk memasuki universiti. Melalui proses dialog, saya belajar dan saya akan tapis informasinya. Menurut saya, kebenaran apa pun, ianya harus diuji. Dan diuji di mana? Di realiti masyarakat. Jadi, apa yang saya dapatkan dari kiyai, misalnya, saya akan persoalkan: Pak Kiyai mengatakan ‘A’ tetapi saya lihat ‘B’ di masyarakat. Dan Pak Kiyai akan terpaksa menjelaskan lagi sehingga saya benar-benar puas dengan ‘A’ dan ‘B’ yang tidak mempunyai jurang antara teori dan kenyataan. Satu contoh. Ketika kiyai menceritakan mengenai toleransi dan Islam sebagai agama universal, saya harus menguji itu. Bagaimana? Saya akan bergaul dengan teman-teman saya dari kelompok berbeza keyakinan seperti Nasrani, Hindu dan yang beragama Buddha. Saya akan bersahabat dengan mereka dan berbicara mengenai perdamaian; di situlah saya melihat bahawa pada dasarnya, keinginan kami (untuk berdamai) sama. Barulah saya merasakan apa yang dikatakan kiyai itu terbukti di tingkat realiti kehidupan. Pak Kiyai sendiri tidak pernah memprotes ketika dia tahu saya sedang mengunjungi biara (monastery), gereja ataupun kuil. Kiyai tidak pernah marah sama saya. Buat saya, kiyai ini mempunyai pandangan yang sangat luas – sama seperti Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Malah, kiyai saya mengagumi Gus Dur. Beliau juga dekat dengan tokoh-tokoh berjiwa besar seperti Nurcholish Madjid. Oleh kerana pergaulannya luas, pandangan beliau lebih bijaksana. Saya simpulkan begitu. Dalam perjalanan saya, ketika saya melihat sesuatu yang berbeza dengan lebih dekat, saya akan mendapatkan bahawa ternyata anggapan orang lain terhadap orang yang buruk ini, salah. Contohnya: pernah orang ramai mengatakan orang Kristian itu jahat terhadap orang Islam. Saya datang kepada teman-teman saya yang beragama Kristian, tetapi mereka itu sangat baik – sehingga saya dapat menumpang solat di bilik mereka. Mereka sehingga menyediakan ruang untuk saya solat. Ini satu contoh bahawa orang Kristian tidak jahat, malah mereka begitu toleran. Kalau mereka begitu toleran, kenapa kita tidak? Itulah realiti yang saya temukan di ruang kehidupan. Lihat bahagian ke-2.]]>